“Wahai anakku” sapa Ibrahim suatu hari
kepada anak sulungnya (pertama). “Aku melihat diriku dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu, menurutmu ta’wil apakah yang dikehendaki Allah dalam mimpiku
itu?” Ibrahim, Nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi ini bukan tanpa alas an
kenapa dia bertanya mimpi yang menjadi bunga sekaligus firasat dalam tidurnya.
Mustahi bagi orang pilihan Allah untuk tidak tahu apa yang dikehendaki-Nya
ketika Allah mengisyaratkan sesuatu. Singkatnya nabi Ibrahim ingin tahu reaksi
dan tanggapan dari Ismail sang putra, apakah dengan kabar itu ismail gemetar,
takut sebagai pengecut atau taat karena tahu bahwa apa yang dimimpikan ayahnya
tak lain adalah ilham dari Alah sebagai perintah kewajiban bagi dua insane
tersebut.
Maka dengan tanpa keraguan sedikitpun,
ismail mngiyakan dan membenarkan apa yang dilihat ayahnya.
Penuh keikhlasan, keridhoan, pasrah yang
dilandasi dengan keimanan yang kokoh, itulah gambaran dari Nabi Ismail ketika
mendapat ujian berupa kematian di tangan ayahnya sendiri dengan jalan
‘penyembelihan’. Sungguh mengerikan kalau hanya dipikirkan dengan logika, tapi
memang agama islam masih memiliki sumber berpikir lain, yaitu keimanan mutlak
dengan adanya hal-hal ghaib.
Maha Suci Allah yang telah mengatur semua
drama itu dengan kekuasaan yang sarat dengan hikmah. Seketika itu saat Ibrahim
sudah siap dengan pedang tajamnya, seraya menggeletakkan leher sang anak di
atas paha untuk disembelih. Dan keajaiban Allah lah sedetik sebelum
menggoreskan pedang tersebut ke leher ismail, Allah menggantikannya dengan
seekor kambing jantan sebagai ganti sembelihan taid. Nabi Ibrahim pun lulus
dari ujian hingga Allah menyematkan gelar baginya sebagai Khalilullah
atau sahabat allah.
Sungguh tak akan disematkan gelar Khalilullah kepada nabi Ibrahim, kalau
saja dia tidak lulus dalam ujian keimanan yang panitia ujiannya tidak lain
adalah Allah sendiri. Sekali lagi hanya dengan ikhlas, ridho dan pasrah. Ya,
pasrah dengan usaha dan do’a atas apa pun nanti ketentuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar